Sunday, 15 December 2013

KISAH ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM

Tanda seorang yang mempunyai hati yang hidup (tidak buta) ialah dia sentiasa merasai diawasi oleh Allah - ABUYA ASHAARI MUHAMMAD

Abdullah bin Ummi Maktum, nama sebenarnya Abdullah bin Umar bin Syuraikh, seorang sahabat suku Quraisy yang termasuk peserta hijrah ke Madinah rombongan pertama. Beliau sampai di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah saw. Abdullah mempunyai ikatan kekeluargaan dengan Rasululah saw. Dia adalah sepupu Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid ra. Bapanya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar ‘Umi Maktum’ kerana anaknya Abdullah lahir dalam keadaan buta.

Abdullah bin Ummi Maktum termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, dia turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Mekah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu Ummi Maktum menyerah? Tidak! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan Kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering menhadiri majlis Rasulullah saw.

Setiap waktu kosong selalu disinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu digunakan untuk menambah ilmu Islam. Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari baginda berhadapan dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf dan Al Walid bin Mughirah (ayah Saiyidina Khalid bin Al Walid). Rasulullah saw berunding dan bertukar fikiran dengan mereka tentang Islam. Baginda sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat baginda. Sedang Rasulullah saw berdakwah dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang meminta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Quran.

Kata Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu!”

Rasul saw yang mulia tidak mempedulikan permintaan Abdullah bahkan berpaling lalu meneruskan pembicaraannya dengan pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah saw cuba hendak pulang, tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti terkena pukulan. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya:

“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, kerana seorang buta datang kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (sentiasa) berbakti.” Surah ‘Abasa : 1 – 16.

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah saw berhubung dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang sentiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah apabila dia datang. Baginda mepersilakannya duduk ditempat duduk beliau. Bertanyakan keadaannya dan beliau penuhi keperluannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, kerana teguran dari Allah itu sangat tegas.

Ketika tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi jadi, Allah swt mengizinkan kaum muslimin dan RasulNya berhijrah. Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tanah tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama sama Mus’ab bin Umair sahabat-sahabat Rasul yang pertama tama tiba di Madinah, setibanya di Yatsrib (Madinah), Abdullah dan Mus’ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Al Quran dan mengajarkan ilmu Islam. Setelah Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin Rabbah menjadi tukang azan Rasulullah saw. Mereka berdua bertugas melaungkan kalimah tauhid lima kali sehari semalam, mengajak orang mengutamakan Tuhan dari segala kerja-kerja yang lain. Itulah kemenangan yang hakiki.

Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal azan untuk membangunkan kaum muslimin untuk bersahur dan Abdullah azan ketika masuk Subuh, agar semua orang menghentikan makan minum dan segala yang membatalkan puasa dan menunaikan solat.

Demi memuliakan Abdullah, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan baginda, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jawatan tersebut diamanahkan kepada Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy, yaumul fath. Setelah perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Al Quran, mengangkat darjat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan darjat mereka yang pergi berperang disbanding dengan mereka yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi perang karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat memberi kesan di hati Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah saw, “Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”

Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (uzur) sepertinya, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia sentiasa berdoa dengan penuh kerendahan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur sepertiku!”

Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya. Zaid bin Tsabit, jurutulis Rasulullah saw menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah saw. Tiba tiba beliau diam, sedangkan peha beliau terletak di atas pehaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat peha Rasulullah saw ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pehaku hilang, baginda bersabda, “Tulislah, hai Zaid!” Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…..”

Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?” Selesai pertanyaan Abdullah, Rasulullah saw berdiam dan peha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah saw berkata, “Cuba baca kembali apa yang telah engkau tulis!” Aku membaca , “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang).” lalu kata beliau. Tulis! “Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”

Maka turunlah pengecualian yang diharap harapkan Ibnu Ummi Maktum. Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang uzur sepertinya untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fi sabilillah. Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangya erat-erat untuk kamu. Saya buta, kerana itu saya pasti tidak akan lari.”

Tahun keempat belas Hijrah, Khalifah Umar bin Khatab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang adil dan bertauhid. Umar memerintahkan kepada semua Gabenor dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berfikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”

Maka berkumpullah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah Umar. Di antara mereka itu terdapat seorang yang buta, Abdullah bin Ummi maktum. Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan arahan-arahannya kepada Sa’ad. Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan kelengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.

Pada hari ke tiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangi pertempuran tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah berlaku. Maka berpindah kekuasaan kerajaan Parsi yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang paling megah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah api itu. Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemui syahid berlumuran darah sambil memeluk salah satu bendera kaum muslimin.

Begitulah kisah ringkas Saiyidina Abdullah bin Ummi Maktum yang maqamnya di Syria.

0 comments:

Post a Comment

About

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...